Di dalam al-Qur’an, tidak ditemukan kata akal secara formal. Yang ditemukan hanyalah fungsi akal seperti berakal, berpikir, memahami dll. Ini pula alasan yang mendasari bahwa akal hanya dikenal lewat fungsinya sesuai makna terminologis yang diajukan oleh kaum salaf. Akal tidak bisa dianggap sebagai perangkat yang independen, sebagaimana pendapat banyak filsosof. Menurut temuan al-Buraikan dalam disertasinya, terdapat 2 makna fungsional akal yang sering digunakan al-Qur’an :
1) Potensi yang dapat digunakan untuk menjaring ilmu pengetahuan dan kebenaran (sarana pengetahuan).
2) Pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya. (fungsi pengetahuan).
Menurutnya, al-Ragib al-Asfahani sendiri telah menetapkan koridor masing-masing dari ke dua kategori makna fungsional akal di atas. Bahwa manakala Allah Swt. tidak membebani seseorang dengan kewajiban syari’ah karena pertimbangan rasio yang belum mapan, maka pemaknannya akan balik ke kategori pertama. Sedang manakala Allah mencela orang-orag kafir karena sikap mereka yang tidak rasional, maka semuanya bermuara pada makna ke-2 yang tidak bisa memahami Allah dan rasul-Nya melalui wahyu yang terlihat dan fakta semesta yang terhampar nan luas dalam wujud ini.[1]
Berdasarkan temuannya, al-Qur’an lebih sering menggunakan makna ke-2 dibanding makna pertama. Alasannya adalah fakta al-Qur’an yang sangat intens menjelaskan asumsi yang salah dari orang-orang kafir yang tidak mampu memahami Allah dengan baik karena pengaruh ideologi dan hawa nafsu yang membelenggu rasio mereka. Bahkan menurutnya, makna ke-2 inilah yang merupakan nuansa umum dan nuansa utama al-Qur’an dalam penggunaan derivasi kata akal.
Sebagai contoh, pengarahan Allah Swt terhadap orang Yahudi tentang bagaimana menghidupkan kembali orang yang telah mati, sekedar untuk menunjukkan pelaku pembunuhan terhadapanya. Sekaligus menunjukkan bukti kemahakuasaan Allah Swt dalam menghidupakan orang mati. Lalu pengarahan ini ditutup dengan menggunakan derivat kata akal.
فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِ اللَّهُ الْمَوْتَى وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (73
2:73. Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayit itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti (dan rasional dalam bersikaf) (al-Baqarah : 73).
Penggunaan kata kerja ta’qilun pada penutup ayat menunjukkan bahwa fungsi akal adalah untuk memahami pengarahan Allah Swt. Tujuannya, agar mereka yang menentang (kafir) dapat secara sadar berbalik kepada rasionalitas ajaran Islam yang menyatu dengan kitab sucinya. Sedang makna pertama, jika dilihat hanya merupakan potensi semata. Sedang keberadaan potensi tidaklah berarti bahwa seseorang bisa memanfaatkanya dengan benar tanpa upaya untuk mengikuti peangarahan wahyu. Inilah yang dicela oleh Allah dalam surah al-A’raf : 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)
7:179. Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (rasio), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (al-A’raf : 179).
Sepanjang sejarah kemanusian, dengan beragam cara yang dipakai dalam berinteraksi dengan akal, tidak ditemuakan adanya sebuah agama maupun pemikiran/isme yang mampu memberikan penghargaan tertinggi bagi akal selain yang pernah diberikan oleh Islam. Juga tidak ditemukan sebuah kitab suci mana pun yang dapat membebaskan keterkungkungan akal, mempertinggi nilainya, serta kemuliannya sebagaimana peranan al-Qur’an dalam membebaskan, menghargai dan memuliakan akal[2].
Banyak fakta sejarah yang memperkuat pernyataan ini. Sejak keberadaan Nabi Adam AS dalam lautan kehidupan, manusia berinteraksi dengan akal dalam batas-batas kehambaan yang pantas untuk menjamin kedekatannya (peribadatannya) dengan Allah Swt. dan dalam memenuhi kebutuhan fitrah fisik dan psikologisnya. Dalam ranah penghambaan ini, wahyu menuntun akal untuk beragama. Sementara akal berperan sebagai penuntun garizah agar memberikan asupan gizi bagi jasmani ketika lapar, berteduh ketika panas dan tidur ketika kelelahan. Interaksi akal pada awal kehidupan itu, fungsinya hanya berkhidmat untuk sekedar ibadah dan mengatur kehidupan yang masih dalam koridor keluarga Nabi Adam semata. Seiring dengan perkembangan manusia, akal makin berkontribusi untuk melayani cakupan lebih luas hingga tidak hanya pada wilayah keluarga, tetapi melampaui hingga berbagai suku dan ras. Tipe Nabi Nuh, Idrus Hingga Nabi Syuaib (Madyan = Yordania) yang mewakili zaman ini.
Tetapi ketika wilayah kehidupan makin kompleks dan manusia sudah berkembang dengan pesat dari sisi populasi, hingga terbentuk dua suku besar (Suku Qibti dan Bani Isra’il) pada Zaman Mesir kuno, Allah mengirim Nabi Musa AS Bersama Nabi Harun AS sebagai Nabi bagi komunitas ini. Keduanya memulai risalah kenabian pada wilayah yang lebih luas dibanding pendahulunya dari kalangan para nabi. Sekalipun missinya tetap sama, masih bersifat lokalitas dengan kitab suci masing-masing. Demikian pula nabi-nabi setelahnya, semuanya datang dengan misi keagamaan lokalitas dan kitab suci yang bernuansa lokal pula. Pada tahapan demikian, tingkat kejernihan akal masih dianggap belum sampai ke tingkat maksimal karena rekaman jejak ilmu pengetahuan yang diperoleh masih terbatas. Ini tidak berarti selama kurun waktu tersebut tidak ada karya-karya besar dari otak brilian yang lahir. Tetapi tetap saja tebelakang jika dibandingkan dengan zaman diutusnya Nabi Muhammad Saw. sebagai penghulu Nabi dengan cakupan misi yang lebih luas, yaitu ; interlokal (baca : internasional).[3]
Adapun Rasulullah Saw., dengan hikmah-Nya, Allah menakdirkan beliau lahir dan memegang amanah kenabian pada pase mutakhir perkembangan rasio manusia. Dengan tingkat kreativitas akal yang paling tinggi dalam sejarah kemanusiaan demikianlah Rasulullah datang membawa misi keagamaan paling rasional (al-Qur’an) yang digaransi oleh Allah akan bertahan dan berlaku hingga hari kiamat kelak. Inilah alasan yang dapat menjelaskan, kenapa mukjizat yang menjadi bukti khusus masing-masing nabi sebagai utusan Allah Swt berbeda antara Nabi Muhammad Saw. dengan nabi-nabi sebelumnya. Jika kemukjizatan nabi-nabi sebelumnya bersifat inderawi dan tidak menyatu dengan kitab sucinya, maka mukjizat Rasulullah Saw. menyatu dengan kitab sucinya, al-Qur’an. Jika mukjizat nabi sebelumnya hanya bisa disaksikan oleh masyarakat yang ada ketika itu, maka mukjizat Nabi Muhammad Saw. dapat dilihat dan dipelajari hingga hari ini dan seterusnya, sekalipun beliau telah wafat beberapa abad yang lalu. Mukjizat nabi-nabi sebelumnya hanyalah berupa hal-hal yang luar biasa yang tidak bisa dipelajari oleh manusia. Hal ini karena manusia sebelum kenabian Rasulullah Saw. hanya fokus pada-pada hal-hal yang mistis, sihir, perdukuanan, dan segala hal yang tidak ceradas jika dipandang dari sudut rasionalitas. Sementara zaman Rasulullah Saw. adalah zaman rasionalitas dan zaman ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang hingga saat ini dan zaman mendatang akan terus berkembang dengan pesat.[4]
Sekalipun Al-Qur’an telah berakhir masa penurunannya sebelum nabi wafat dengan segala kemukjizatan yang telah membelalakkan mata sastrawan Arab sekali pun, namun kemukjizatan berupa fakta ilmiah yang terkandung pada berbagai ajaran dan isyarat-isyarat bahasanya masih akan tetap aktual sepanjang masa. Ini karena Allah Swt menjamin akan memperlihatkan bukti-bukti kebenaran (kemukjizatan) al-Qur’an ini sepanjang zaman (fakta-fakta alam (al-Afak) dan fakta-fakta sosial (al-Anfus)), sesuai dengan perkembangan tingkat kecerdasan dan rasionalitas manusia modern hingga datangnya hari kiamat kelak.
Dalam rangka rasionalisasi praktek-praktek keagamaan yang lahir pada zaman ilmu pengetahuan dan pada tingkat kejernihan maksimal rasio manusia, al-Qur’an memperkenalkan terma-terma akal dalam bentuk kata kerja aktual (fi’il mudhare/continues) seperti, لعلكم تعقلون[5] , لقوم يتفكرون[6] , لقوم يفقهون[7]dengan beragam derivasi dan pengulangannya dalam al-Qur’an. Hal ini bertujuan untuk mengawal masyarakat menuju keimanan kepada Allah Swt dengan landasan penghormatan yang sangat besar terhadap akal/rasio[8]. Ajakan-ajakan logis dan rasional tersebut berupa :
Islam tidak pernah berusaha mengerdilkan akal dalam rangka keimanan kepada Allah Swt. Sebaliknya, Islam senantiasa memacu akal agar berperan aktif dalam menggapai keimanan yang dapat memuaskan pikiran dan perasaannya pada setiap sektor kehiduapan. Bahkan dalam rangka kepuasaan tersebut, al-Qur’an mengarahkan potensi akal ini untuk :
1.a. Al-Qur’an sebagai fakta tertulis.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
4:82. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(An-nisaa :82)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
38:29. Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (Shad : 29)
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
47:24. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci? ( Muhammad : 24.)
Setelah itu, al-Qur’an menantang rasio untuk menandinginya dengan menampilkan produk rasionalnya yang dapat menyamai dan mengimbangi al-Qur’an. Jika mereka berupaya melayani tantangan tersebut, dengan kafasitas sebagai ahli sastra pada zaman diturunkannya al-Qur’an dan masa-masa selanjutnya, namun pada kenyataannya tidak ada yang mampu menunjukkannya sekali pun hanya satu ayat. Maka terbuktilah bahwa memang al-Qur’an satu-satunya produk yang paling benar dan paling rasional.
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
52:34. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar. (Atthur : 34. )
1.b. Ciptaan Allah Swt. sebagai fakta terlihat.
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ (18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20)
88:17-20. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Al-ghasyiah 18-20),
أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (8)
30:8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.( al-Ruum : 8).
Setelah itu, Allah menantang manusia dengan segala indera yang dimiliki agar mampu menunjukkan satu fakta tentang kekurangan yang tidak pantas dalam ciptaan Allah tersebut. Jika manusia berusaha mempelajari ciptaan ini lalu tidak mampu menemukan kelemahan yang dimaskud, maka tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali beriman kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan keikhlasan. Ini juga menegaskan, jika kekurangan dan kelemahan di alam raya yang merupakan ciptaan Allah swt tersebut tidak ditemukan, selain berupa fakta yang mencengangkan tentang keteratutan dan keseimbangan dan harmoni dalam gerak dan laju perkembangannya yang konstan, lalu bagaimnana dengan al-Qur’an ?!. Padahal al-Qur’an juga berasal dari sumber yang tanpa cela dan sama dengan sumber pencipta Alam raya dan seisinya. Karenannya, fakta yang disampaikan tentulah pasti dan kekal. Bahkan al-Qur’an lah yang akan menjadi standar penilaian tentang keshalihan manusia secara pribadi maupun secara komunal dalam lingkup kehidupan ini. Apalagi kelak di akhirat. Saat di mana semua aturan tidak berlaku kecuali ketetapan yang telah Allah bentangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya.
1.c. Syari’at yang menjadi ketentuan Allah yang baku.
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179)
2:179. Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah : 179)
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
2:184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (al-Baqarah : 184)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)
62:9. Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (al-Jum’ah : 9)
Di sini, manusia diminta untuk dapat memikirkan berbagai hikmah di balik ketentuan Allah dalam syari’at-Nya. Hidup ini, kata Muhammad Quthb, tidaklah berjalan linear dan otomasits mengikuti syari’at keagamaan yang telah diatur oleh Allah dalam al-Qur’an. Tetapi terkadang syari’at Allah tersebut dikerdilkan begitu saja dari arena kehidupan dan tidak jarang dianggap sebagai produk yang terbelakang. Sehingga untuk dapat memperaktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan pengetahuan yang cukup tentang hikmah di balik syari’at tersebut. Mereka-mereka yang tidak memahami hikmah di balik produk syari’at ini terkadang tidak mampu mewujudkannya di alam nyata akibat dari kelemahan pikiran dan jiwanya. Di sinilah al-Qur’an berperan untuk membangkitkan rasionalitas akal agar dapat mentadabburi aturan-aturan dan hikmah syari’at ini agar mereka mampu memberdayakannya dengan cara yang paling baik dan tepat dalam berbagai kondisi dalam hidup ini[9].
1.d. Kondisi Ummat-ummat terdahulu dan akibat dari kemaksiatan mereka.
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَكُمْ وَأَرْسَلْنَا السَّمَاءَ عَلَيْهِمْ مِدْرَارًا وَجَعَلْنَا الْأَنْهَارَ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَنْشَأْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ قَرْنًا آخَرِينَ (6)
6:6. Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain. (al-an’am : 6)
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (11)
6:11. Katakanlah: “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (Al-an’am : 11)
Di sini, manusia dengan kapasitas rasio yang dimiliki terkadang menganggap pilihan-pilihan mereka lebih baik dibanding kembali kepada aturan Allah Swt dengan mengikuti nabi-nabi yang diutus kepada mereka. Tetapi manakala peringatan nabi-nabi tersebut ditentang habis-habisan, maka ujung dari pengingkaran tersebut bermuara pada datangnya siksaan Allah swt. Tinggalah bekas-bekas mereka terekam dalam sejarah kemanusian menjadi pelajaran berharga bagi manusia setelahnya. Seperti misalnya kisah Fir’aun dengan segala keangkuhannya yang berakhir pada Laut Merah dengan fisik yang tetap diselamatkan oleh Allah sebagai monumen pembelajaran dan contoh nyata bagi setiap pengingkar syariat, kapan pun dan di mana pun[10].
1.e. Dunia dengan kenikmatannya yang akan sirna.
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا (45)
18:45. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Kahfi : 45)
Rasio manusia diarahakan agar mampu melampaui persfektif materialis yang tampak oleh mata kasarnya. Al-Qur’an senantiasa mengajak mereka bahwa materi yang membentuk kehidupan ini persis layaknya mahluk hidup yang berawal dari ketiadaan menjadi ada, dari kecil hingga remaja sampai ke tingkat dewasa dan akan berakhir dengan kehancuran. Materi di dunia ini hanyalah sarana menuju apa yang ada di balik materi ini. Dia-lah sumber keberadaan dan kehidupan dan kepadan-Nya pula kehidupan berakhir. Dunia hanya sebuah tangga menuju kepada-Nya. Jika demikian adanya, dengan memberdayakan akal untuk memikirkan hakikat kehidupan material ini, maka diharapkan terbentuk perbaikan akidah, perbaikan hati dan perbaikan tata kehidupan sehingga bermuara pada jalur yang benar, shirata al-Mustaqim.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (104)
3:104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran : 104)
Dalam kerangka ini, al-Qur’an menugaskan setiap pribadi muslim agar melibatkan diri dalam uapaya amar ma’ruf dan nahi munkar. Jika saja mereka lalai, sekali pun secara pribadi terlihat shaleh dan beriman, maka mereka akan terancam dengan resiko yang besar. Berupa musibah yang tidak hanya menimpa para pelaku kemaksiatan semata, tetapi juga meliputi orang-orang shaleh yang tidak menegaskkan dan berpihak pada penegakan supermasi amar ma’ruf dannahi minkar.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (25)
8:25. Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang lalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (Al-Anfal : 25)
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)
5:78-79. Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (al-Maidah : 78-79)
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256)
2:256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah : 256)
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
18:29. Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Al-Kahfi :29)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99) وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
10:99-100. Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (Yunus : 99)
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (21) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (22)
88:21-22. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, (al-Ghasiyah : 21-22).
Melihat metodologi istinbath hukumnya sudah tepat, Rasulullah Saw. menyatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sesuai ketantuan Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan pengharaman ini berlanjut hingga mencakup kadar terkecil dari zat-zat yang memabukkan. Rasulullah Saw. menegaskan, “Zat yang memabukkan ketika kadarnya banyak maka tetap haram sekali pun kadarnya kecil”. Semua teks-teks keagamaan serupa bermuara pada upaya menjaga fungsi dan peran akal sebagai sarana keberagamaan. Karenanya, ketika fungsi akal tidak maksimal, misalnya karena belum balig, tertidur, terpaksa, pingsan atau gila, maka standar penilaian berupa pahala dan dosa otomatis tidak berlaku. Sabda Rasulullah Saw., “Terdapat tiga kondisi di mana pena (sebagai pencatatat kebaikan dan keburukan) tidak berperan : orang yang tertidur hingga bangun, orang yang gila hingga tersadar dan orang yang masih kecil hingga ia balig”. (HR Bukhari)
Bahkan, bagi siapa pun yang menyebabkan hilangnya fungsi akal hingga tidak bisa diberdayakan sama sekali ditetapkan hukuman diyat secara penuh. Ibnu Qudamah menjelaskan, “Tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Kecendrungan seperti ini pula yang kita temukan dalam riwayat yang disampaikan dari Ibnu Umar dan Zaid RA. Demikian pula pendapat yang sampai pada kami dari kalangan para ahli fiqhi. Alasan Ibnu Qudamah adalah bahwa akal merupakan sarana yang paling tinggi nilainya, di samping juga karena ia merupakan indera yang paling besar nilainya. Dengan akal-lah seseorang berbeda dengan binatang, mampu mengetahui hakikat hal-hal yang ada di sekitarnya, dapat mengenali semua yang bermanfaat baginya dan berhati-hati dari segala hal yang mengancam dan membahayakan eksistensinya. Disamping itu, kata beliau, dengan akal pula manusia masuk ke wilayah taklif. Akal pula menjadi syarat bagi siapa pun untuk dapat memiliki legalitas hak kepemilikian, hak untuk bertransaksi dan hak untuk beribadah. Dengan demikian, penetapan denda berupa diat bagi yang menghilangkan fungsinya tentu lebih pantas jika dibandingkan dengan diat untuk indera lainnya.[11]
Penulis : H. Idrus Abidin, Lc, M.A
(Dosen Tetap STIS Al Manar)
————————————————————————————————————————————–
[1] Al-Buraikan, Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah, Manhaj Ibn taimiyah Fii Taqrir Aqidah al-Tauhid, (Riyadh (KSA) : Dar Ibnu Affan dan Dar Ibn al-Qayyim ), cet.1, th.2004 M – 1425 H. vol.1.
[2] Rumi, Fahd Abdul Rahman, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyah fii al-Tafsir, (
[3] Al-Kaelani, Majid Irsan, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah,
[4] Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-Karim, ( Bairut : Daar al-Syuruq), cet. Th. Hal.
[5] Surah al-Baqarah, 73 dan 246. Surah al-An’am : 151, surah Yusuf 2, surah an-Nuur 61, dll.
[6] Surah Yunus 24, al-Ra’du 3, an-Nahl 11 dan 69, al-Ruum 21 al-Zumar 42 dan al-Jatsiyah 13, dll.
[7] Surah al-An’am 98.
[8] Rumi, Fahd Abdul Rahman, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyah fii al-Tafsir, hal. 30. Maskudnya, keimanan yang menjadi simbol utama Islam ditegakkan berdasarkan pada bukti-bukti rasional yang mapan sehingga keimanan dalam Islam bukanlah doktrin yang bersifat jumud dan terkesan memaksakan (lihat surah al-Baqarah : 256). Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama ilmu yang tidak bisa diakses tanpa pengetahuan mendasar tentang konsep-konsep keyakinan yang dipaparkan secara detail dalam lingkup akidah Islam. Karenanya, al-Qur’an sejak awal menegaskan bahwa membaca sesuatu sebelum mengikutinya adalah mutlak, termasuk sebelum mengakui Islam sebagai way of life. Wallahu a’lam. (lihat ; al-Alaq : 1-5).
[9] Quthb, Muhammad, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah,
[10] Al-Kilani, Majid Irsan, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah,
[11] Ibnu Qudamah, al-Mugni, vol. 8, hal.33